Dari blog Wiwin Hendriani, Seputar Sibling Rivalry
http://wiwinhendriani.com/2011/08/06/dari-obrolan-bersama-teman-seputar-sibling-rivalry/#comment-20
Wiwin Hendriani
Berbagi Karya, Berbagi Cerita
Dari Obrolan Bersama Teman Seputar Sibling Rivalry…
Ditulis pada 06/08/2011
Seorang teman (D) berbagi cerita dalam sebuah jejaring sosial: “…anak ku cewek-cowok, beda setahun. Kakak 8 tahun, adik 7 tahun. Lha si kakak kerap kali iri sama mainan adiknya yang cowok, seperti layangan, gasing,… kadang sampe ngambeg kalau ga punya. Dikasih pengertian ndak mempan…”
Me: “Itu bagian dari sibling rivalry bu, dan banyak anak yang punya saudara kandung juga mengalaminya. Ada beberapa faktor yang menyebabkan: (1) Karena level usia anak yang memang masanya egosentris; (2) Karena rasa ingin tahu yang besar terhadap sesuatu, sehingga yang awalnya ga tertarik tapi lihat saudara asyik memainkan jadi ikutan pengen; (3) Karena faktor pengasuhan orangtua yang ga disadari ternyata ikut menstimulasi. Jujur karena anakku masih 1, aku belum pernah menghadapi situasi ini secara langsung. Tapi ada cerita salah seorang temanku yang menurutku menarik untuk kubagikan disini. Dia punya 2 anak yang jarak umurnya juga ga beda jauh. Sejak anak keduanya lahir, dia sudah waspada dan mengantisipasi persoalan sibling rivalry ini. Selain membiasakan kedua anaknya untuk saling peduli satu sama lain, ia juga memberikan penjelasan sederhana tentang keuangan keluarga kepada mereka. Bahwa ia dan suaminya tidak setiap saat memiliki uang lebih, padahal setiap hari mereka harus berbelanja untuk makan, bayar sekolah, dll, dll. Meskipun sebenarnya mampu, ia tidak pernah membelikan benda-benda untuk anak-anaknya bersamaan , tapi gantian, misal bulan ini kakak dibelikan baju, bulan depan baru adiknya, sambil terus mengajarkan ke mereka berdua untuk mau mengerti dan berbagi, karena mereka bersaudara. Ia meyakini bahwa sikap orang tua yang terbiasa membelikan barang-barang bersamaan pada anak-anak justru akan membuka celah bagi mereka untuk menuntut, agar selalu diperlakukan sama tanpa mengerti kondisi orangtua dan prioritas kebutuhan mana yang lebih penting. Belajar dari temanku ini, meskipun ‘buntut’ masih 1, aku sudah mencoba untuk banyak memberi pengertian ke anakku tentang berbagai kebutuhan rumah sambil nemani dia main. Kuceritakan bahwa setiap hari aku & bapaknya harus kerja untuk dapat uang, uangnya untuk keperluan sehari-hari. Kadang sengaja kutunjukkan kalau kami habis bayar listrik, belanja bulanan, bayar PDAM, bayar uang sekolah / lesnya dia, dll, sampai uangnya hampir habis dan kami harus mencarinya lagi. Dari situ kujelaskan ke dia kalau tidak setiap saat keinginannya bisa kupenuhi, dan kuminta dia untuk menjaga barang-barangnya karena untuk membelinya kami harus bekerja keras dulu. Alhamdulillah…dia bisa mengerti. Sampai sekarang dia cukup baik merawat mainan-mainan / buku-bukunya & tidak memaksa meminta sesuatu kalau kubilang aku sedang tidak punya uang, hehehe…”
Teman lain (E): “Wiwin, usia berapa pengertian itu bisa diterima, aku sendiri tidak pernah memberikan pengertian seperti yang kau sampaikan, aku hanya bilang ibu ke kantor sama seperti anakku ke sekolah, bapak ke kantor untuk menghitung pohon.. Anakku usia mau 3 tahun, penjumlahan saja masih belum bisa, mengerti angka bahwa angka 1 adalah satu biji bukan 2 biji itu aja kuajarkan sambil berjalan..”
Me: “Dari usia tiga tahunan juga aku mulai cerita seputar itu ke Damai jeng… Sekarang dia 5 tahun. Tiap saat, sampe mulut ini rasanya “mimiren”, hehehe… Awalnya dia ga paham, tapi terus kulakukan pake penjelasan yang macem-macem. Ga masalahlah, tapi aku yakin, otaknya terus memproses penjelasan-penjelasan yang kuberikan. Misal untuk tahu bahwa semua hal itu butuh uang, pas ke toko beli sesuatu sengaja kutunjukkan bahwa aku memberikan uang ke pelayan toko, trus kuterima barangnya, trus kutunjukkan lagi kalo lembaran uang di dompetku sudah berkurang… dan seterusnya dengan hari-hari dan cara-cara yang lain. Kubayangkan ini seperti menanam sesuatu yang hasilnya ga akan terlihat seketika itu juga. Butuh proses, butuh waktu. Tapi kalau tidak segera dimulai, tidak terus dipupuk & disiram, kalau kita putus asa di tengah jalan, ya… hasilnyapun tentu akan terpengaruh juga.”
E: “Kalau pas ke supermarket dari dulu saya selalu mengatakan, ‘yang diambil ibu mau dihitung dulu sama tante / om’ .. dan akhirnya sekarang memang setiap kali belanja ,anakku selalu mengatakan ‘susunya mau dihitung dulu’. Baiklah… nampaknya saat yang tepat untuk mengenalkan makna dari uang”
Me: “Yup. Pokoknya 1001 macam penjelasan dipake deh, sampe dia paham. Dan kita pun akan semakin cerdas pula nantinya, hahaha… Soale asli mumet bu, pertanyaan-pertanyaan ingin tahu mereka kan lebih susah dari psikotes…” :D
Comments